having no idea while writing this.
pukul tujuh malam, di suatu rumah
di jalan garuda, komplek yang tak jauh dari komplek rumahku, kita berkumpul kembali. aku
datang terlambat, ya, satu jam sesudah acara dimulai. memang sungguh tak bisa
aku datang tepat waktu meski tahu akan bertemu dia. sedangkan kak moh, fau dan
riz yang ikut-ikut fau, sudah disana. aku menghampiri mereka. acara itu tak
seperti acara resmi atau apapun. mengingat kita pernah berkemah bersama
beberapa pekan lalu. kita jadi sering mengadakan acara sekedar berkumpul. tak
ada tanda-tanda ada al disana. acara tetap berlanjut, aku masih asyik bermain
game bersama teman-teman, tidak begitu mendengarkan arahan-arahan acara camping
berikutnya. flappy bird, ya kita terkena
demam itu, demam flappy bird. hanya berharap camping selanjutnya al tetap ikut karena hanya itu alasanku tetap ikut berkumpul bersama genk camping ini. hanya itu.
dering berbunyi tanda jarum jam
telah tiba di angka delapan. mereka datang, al datang. ada qata disana, dibelakang mereka. pandanganku tak terlepas dari laki-laki didepan qata itu, laki-laki tinggi berkulit putih dengan
jaket baseball biru donker serta ransel di genggaman tangannya, berjalan bergabung
dengan perkumpulan didepanku. aku memperhatikannya. bola mata hitamku tak terlepas satu cm pun dari langkah kakinya yang hanya sekitar dua
meter didepanku. qata bersama satu sahabatnya, Celine, muncul dari belakang kerumunan
laki-laki itu, menghampiriku, “sudah lama mba?” dia memanggilku begitu, mba march. entah
memang mungkin qata adalah gadis jawa tulen yang memanggil orang yang agak jauh lebih
tua dari dirinya dengan panggilan mba atau mas. “eh belum terlalu ta, kamu naik apa
kesini?” aku baru sadar qata sudah duduk disebelahku. qata adalah adik bara, teman al. “naik mobil, sama mas bara dan yang lain mba,” qata masih melanjutkan
percakapan diantara kami. tapi jantungku berdetak kencang saat qata masih sibuk
menjawab pertanyaanku, dan al melihat tepat ke arah kami duduk. maaf ta, mba tidak
memperhatikanmu berbicara, tapi teman mas mu yang terlalu gorgeous to stared at, itu yang malah jadi satu-satunya perhatianku malam ini. entah. aku salah tingkah. sangat bodoh. aku langsung
berganti menatap qata. “ooh hehe yasudah kamu ambil makan malam dulu gih,” aku
menyuruh qata makan. dan ternyata saat qata pergi ke meja bundar besar disana,
aku curi-curi menoleh ke arah al dan teman-temannya duduk. al ikut menoleh ke
arahku, lagi. tuhan, aku hentikan waktu untuk saat itu saja, lima detik saja.
tak kuasa aku menahan tatapan itu
larut dengan sendirinya di hadapanku, aku dengan cepat segera mengalihkan
pandangan. fau, bantu aku... aku
memohon dalam benak. dan entah mengapa malah menghampiri fau yang sedang main PES di
ruang tengah. ternyata bukan giliran fau main, baiklah, aku lebih baik
mengobrol dengannya dari pada harus mati gaya catched eye with that gorgeous one.
“fau ada dia ya?” tanpa menunjuk atau menoleh memperlihatkan dimana
al, fau mengangguk.
“iya, udah lihat belum?”
“udah cukup.........”
aku menceritakan kejadian itu
pada fau. fau hanya tertawa dan tidak membantu apa-apa. hanya mendengarkan dan
menyeringai seniri. sungguh benci aku kepada sobat kecilku itu. tak bisakah fau
membantuku meski hanya sikit saja? huh mengapa ini menjadi sedikit rumit. aku hendak pulang saja lah.....
“dia gak asik ah al kayaknya,”
kalimat itu menghentikan langkahku yang henak meninggalkan fau.
“hah?” aku sekaligus bingung
mengapa pula tiba-tiba muncul riz duduk disebelah fau?
“iya kerjaannya ngerjain orang
melulu,” riz nyeletuk. tak masalah dengan riz. aku kenal baik dengannya.
aku hanya mengerutkan kedua
alisku, lalu meninggalkan mereka berdua. bukan karena riz tiba-tiba muncul, melainkan karena mengapa mereka berkata seperti itu tentang al? aku pun kembali duduk bersama qata. dan tidak berminat untuk mencuri pandang
lagi. namun, apa daya, aku yang tak mau menoleh ke arah kerumunan di depanku itu, sialnya malah mereka yang datang menghampiri sendiri. ya, al dan bara menghampiri mejaku. menghampiriku, qata dan celine yang sedang asyik mengobrol. aku mematung. hendak mengambil
apapun gadget yang ada di meja itu, berpura-pura sibuk dengan itu, atau mungkin minum segelas soda, teh atau kopi. bingung harus menatap siapa. hanya ada bara dan al, hampir tiga puluh cm tak
jauh dari bangku aku duduk. mereka berdiri disana. yang satu berbadan tinggi putih, yang satunya lagi agak tan, sama tingginya namun lebih berisi.
“ta, kamu mau pulang jam berapa?
mas gak lama-lama kok disini,” bara langsung bertanya kepada adik manisnya itu.
aku hanya berani menatap qata yang berada
disebelah serong kanan meja. celine yang sibuk dengan novelnya hanya melirik sekali-sekali saja.
“hmm mas udah mau pulang?” qata
malah bertanya balik.
“ya engga sih, kalau kamu masih
lama ndak papa, mas kebawah dulu sama mas al ya,” bara melirik al, yang dilirik
segera mengangguk. maksudnya akan ke bawah.
aku yang sudah cukup lama
mematung penasaran, memberanikan diri menoleh agak tinggi ke arah mereka
berdua, al dan bara.
“eh ini siapa ta? ga dikenalin ke
mas?”
glek. bara yang menatapku setelah
menatap adiknya itu akhirnya mengajakku masuk alam percakapan yang padahal
bukan hal yang penting. disusul dengan al yang memperhatikan dari tadi. dari
tadi? al menatapku? aku sumpah, tidak berani untuk melihat matanya lagi.
“bukannya kamu temennya moh?”
astaga, dia mengajakku berbicara? dia bertanya padaku kah? kak moh, mengapa ia menyebut namamu? aku hilang kesadaran. aku
bahkan tidak bisa mencerna apa yang ia tanyakan barusan. aku memasang tampang
bingung. sungguh bodoh.
“ah iya apa al?” bara bingung
karena aku tidak langsung mengangguk saat al bertanya tadi.
“iya soalnya dia sama kak moh
terus deh perasaan. emang bukan ya?” al turut bingung karena aku masih melongo. bodoh.
aku tak mengeluarkan satu patah
katapun. aku hanya mengangguk tersenyum.
“tuhkan!” al menyenggol bahu
bara.
qata akhirnya ikut menimpal, “iya
mas mba march temennya kak moh, fau sama riz juga.”
“mas cuma kenal moh doang ta,
mungkin fau sama riz temen kompleknya ya? al aja nih yang tiba-tiba tau aja
temen kamu ini temennya moh,” bara menyeringai.
“eh apaan sih haha,” al
mengangkat bahu.
percakapan itu ditutup dengan
ajakan bara dan al untuk menonton futsal dihalaman depan. aku tak berani
menerima ajakannya. alhasil hilanglah kesempatanku mengenal al. al hanya
tersenyum. begitu juga dengan bara.
“yaudah kita kebawah dulu ya,” al
terus menatapku.
“oh ya, panggil mas ya ta kalo
udah mau pulang, mas dihalaman depan kok,” bara melambaikan tangan.
aku masih menatap punggung al,
yang hilang menuruni tangga. kaus putih itu entah mengapa sangat berbeda dengan
kaus putih lainnya yang ada di dunia ini. begitu juga dengan mata itu.
"bar, tadi namanya march?"
bara hanya tersenyum menyeringai menatap al.
No comments:
Post a Comment