Tuesday, October 25, 2016

“Andai, mereka yang di luar sana, semua, seperti dirimu.”

Boleh kah aku menulis sedikit atau beberapa paragraf tentang dua orang yang akhir-akhir ini selalu membuatku tertawa dan menangis? Aku harap kalian mengangguk meng-iyakan.

Adalah Alif dan Pramuditha, mereka berdua itu laki-laki. Oh, dan aku tentu perempuan. Hidup kami bertiga diiringi oleh musik dan lagu. Entah. Aku senang bertemu mereka. Kami ini mahasiswa perantauan. Jika kamu-kamu sekalian sama halnya seperti kami, kalian akan menikmati kisah ini. Karena sejatinya seluruh makhluk perantauan akan merasa satu jiwa. Ya, menurutku seperti itu seharusnya.

Alif itu pemain drum yang petakilan. Atau memang pemain drum itu petakilan? Aku masih tidak tahu. Aku belajar sesuatu yang aneh dari Alif. Ia seorang yang sangat tidak peduli akan apapun. Benar-benar, akan hal apapun. Sesuatu yang aneh itu adalah aku belajar tentang semacam hal-hal ketidakpedulian dari seorang Alif. Aneh bukan?

Sekarang, Pramuditha, biarlah namanya terlalu panjang. Karena nama mereka aku samarkan di sini, aku kehabisan nama untuk menggantikan nama asli mereka. Dan sekarang aku minta maaf karena aku terlalu jujur akan hal tersebut. Dan kalau aku bisa jujur lagi, aku tertawa sambil menulis paragraf-paragraf ini. Dan bahkan tanpa kehadiran raga Alif dan Pramuditha di sini, tetap dapat membuatku tertawa seperti ini. Dasar kalian.

Kembali ke sahabat laki-lakiku satu lagi yang namanya terlalu panjang itu, Pramuditha juga pemain musik. Gitar atau bass, mungkin keduanya. Alif pernah bercerita kalau ketika SMP, Pramuditha dan teman-temannya memiliki band (entah asal-asalan atau tidak) dan Pramuditha sebagai bassist. Ia itu sungguh pendiam. Tenang. Kalau kata mereka berdua, “Diam-diam, diam.” Aku harap kalian mengerti intonasi dari kalimat yang baru saja aku maksud. Alif dan Pramuditha seorang yang berbeda. Seperti hitam dan putih. Tapi aku tidak bisa memilih yang hitam siapa dan yang putih siapa. Atau aku mungkin saja bisa memilih, aku itu abu-abu jika mereka hitam dan putih. Percayalah, aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan ini. Hahaha.

Aku bilang pada mereka namun aku lupa kapan, “Jangan menganggapku sampai sebegitunya, ya?” tapi mereka tetap saja bilang kagum padaku. Mereka bilang mengapa semua perempuan tidak seperti aku saja. I have no idea how could they told me such a deep thing. Aku tahu mereka sayang padaku, begitu pula aku. Banyak hal-hal kecil seperti jika aku benar-benar kelaparan, atau penyakit lambungku menyerang tiba-tiba. Mereka benar-benar seperti superman yang datang membawa obat, makanan maksudku. Hahaha.

Tepat tadi malam, keadaan sebaliknya bahwa saat mereka kelaparan kemudian meminta aku untuk memasak. Tentu saja kulakukan. Jika kalian ingin tahu, saat itu sedang akhir bulan. Jadi, kami sebagai perantauan-perantauan malang akan merasa tahu diri untuk tidak makan-makan enak di luar sana. Tapi jika kalian menebak-nebak, aku tidak sedang ingin membahas tentang makanan dan hal kelaparan di sini.

Beberapa jenak setelah mereka kekenyangan dan tanpa arah, mereka hendak kembali pulang ke kos mereka masing-masing, dengan kendaraan masing-masing pula, kau tahu apa yang sempat terjadi? Sekejab ada bayangan seperti hal gaib, mengintaiku. Aku bahkan tidak bisa menggambarkannya di sini. Alif dan Pramuditha tahu kalau aku penakut. Aku sampai diam sebentar setelah melihat sesuatu itu. Beberapa jenak. Aku berkata pada Alif, “Aku seperti melihat sesuatu barusan.. Takut.” dengan raut takut bercampur senyum yang memaksa, tanda bersirat “Please, kalian jangan jadi pulang….” Kala itu hari sudah setengah larut, malah sudah larut. Melihatku seperti itu Alif langsung menjawab, “Ikut ke tempatku saja, nanti Pramuditha juga ikut ke tempatku. Kami tidak jadi pulang ke kos masing-masing.” Masih tersisa shock-shock tadi dalam diriku, pikiranku, dan jiwaku. Pramuditha di sana hanya diam saja tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu mungkin memang harus berdiam. Atau memang itu karena ia memang pendiam. Mungkin.

Alif tahu aku tidak akan bisa tidur sendiri dalam keadaan seperti itu. Maka dari itu ia berinisiatif untuk mengajakku ke kosnya. Namun aku tidak bisa, bagaimana pula caranya? Untuk apa pula aku ikut mereka pulang? Macam anak perempuan tidak baik. “Nanti aku tetap saja tidak bisa tidur, kan itu kosmu bukan kosku,” balasku dengan masih ketakutan. Maksud aku adalah, aku ini perempuan dan kamu ini laki-laki. Kosku ini adalah kos perempuan dan kosmu itu adalah kos laki-laki. Sebenarnya aku tidak menjelaskan apa-apa lagi. Itu hanya dalam benakku. Alif mengerti, “Tak apa, kamu tidur saja, aku dan Pramuditha tidak akan tidur.”

Malam itu akhirnya mereka tetap kembali pulang ke kos mereka masing-masing. Aku pun tetap di kosku pula. Kalian tahu? Alif dan Pramuditha berkata bahwa mereka akan terjaga sampai pagi, karena mereka tahu aku tidak akan bisa tidur sendiri. Dan karena memang aku tidak akan mau jika mereka juga tidur. Jadi apalah nanti jika hal itu terjadi? Percayalah, aku tidak sedang membahas hal-hal seperti itu. Kembali kepada Alif dan Pramuditha, hal yang pertama aku bantah ialah, “Kalian itu besok ada kelas pagi pukul tujuh, tidak usah berlebihan. Tidak perlu lah sampai sebegitunya hanya karena aku ketakutan.” Alif menimpal lagi, “Kamu tidak akan bisa tidur kan?” Aku seperti ingin menjawab iya namun tidak sanggup. “Tidak apa-apa, aku akan berusaha,” balasku meskipun aku tahu, aku tidak akan berani mematikan lampu kamarku saat tidur setelah itu.

Hal sekecil itu, membuatku sadar. Pun bersyukur kepada Tuhan bahwa aku memiliki mereka.

Sudah lah paragraf-paragraf ini sepertinya menjadi panjang. Biarkan aku menutupnya perlahan. Alif itu hampir tidak pernah peduli apa kata orang. Namun ia adalah pribadi yang amat peduli bahkan bagi diriku. Setelah mengenalnya. Alif mengajari aku bagaimana memegang stik drum dengan sebenar-benarnya. Bagaimana posisi dan letak jari dan lenganku saat bermain drum agar tidak seperti seekor penguin bermain drum. Karena ia selalu bilang, “Jangan seperti penguin itu tangannya!” setiap aku sedang berlatih drum.

Sedangkan Pramuditha, adalah seorang yang pengalah. Setiap bermain catur, bahkan ia membuat dirinya seperti akan kalah, yang justru itu selalu membuat aku marah. “Jangan main sendiri, jangan bikin aku menang! Aku mau menang hasil pikirku sendiri,” gerutuku. Kurang lebih seperti itu setiap aku bermain catur bersama Pramuditha. Ia seorang yang pintar, atau cerdas? Kadang cerdas dapat memiliki konteks yang negatif. Ya, tak apa lah. Pramuditha itu pintar dan cerdas. Tapi, ia tidak terlalu menunjukkan itu. Mungkin dengan diam adalah bagian dari penunjukkan diri dan hal konkret dari sebuah kalimat yang sering kita dengar, “Diam itu emas.” Namun, menurutku tidak juga. Ia tak sebaik itu.

Aku harap beberapa paragraf tadi tidak begitu mempengaruhi pikiran kalian. Karena, kalian tidak tahu bukan, apakah itu benar terjadi dalam hidupku atau tidak? Kalian boleh menganggap itu benar, dan boleh pula jika menganggap aku hanya berharap dua orang itu ada.

Akan aku sampaikan salam kalian kepada Alif dan Pramuditha.

Sampai jumpa, di hari-hari menyenangkan dan mungkin menyedihkan lainnya, Alif, Pramuditha.

Sunday, October 16, 2016

so i cry even more

(October 15, 2016)


It is too strange
This is too sad
And I am too sick
You are too far
This is complicated

In the last message
I said,
Please do not say you miss me
Because I might say it back
And no answer
You laughed
I did not reply

Today
You say sorry
And I know why
So you say you miss me
And still feel sorry
For saying that

And it is still,
today
I say sorry too
And you do not know why
So I tell you it is because I say it back
I cry
You say don’t reply again
I cry even more

[When in the fact, my best boy friends do not know why i am still crying myself in my room, why never leave my room, why do not want to go somewhere maybe with them, and why do not want to tell them both why. I am sorry, my puyer(s) (this is our silly nicknames for each other), I just can not cry in front of you both by telling the truth. Thank you for always asking me if i am still ok or not, even until this secon.]