Boleh kah aku menulis sedikit atau beberapa paragraf tentang dua
orang yang akhir-akhir ini selalu membuatku tertawa dan menangis? Aku harap
kalian mengangguk meng-iyakan.
Adalah Alif dan Pramuditha, mereka berdua itu laki-laki. Oh,
dan aku tentu perempuan. Hidup kami bertiga diiringi oleh musik dan lagu. Entah.
Aku senang bertemu mereka. Kami ini mahasiswa perantauan. Jika kamu-kamu
sekalian sama halnya seperti kami, kalian akan menikmati kisah ini. Karena sejatinya
seluruh makhluk perantauan akan merasa satu jiwa. Ya, menurutku seperti itu
seharusnya.
Alif itu pemain drum yang petakilan. Atau memang pemain drum
itu petakilan? Aku masih tidak tahu. Aku belajar sesuatu yang aneh dari Alif. Ia
seorang yang sangat tidak peduli akan apapun. Benar-benar, akan hal apapun. Sesuatu
yang aneh itu adalah aku belajar tentang semacam hal-hal ketidakpedulian dari
seorang Alif. Aneh bukan?
Sekarang, Pramuditha, biarlah namanya terlalu panjang. Karena
nama mereka aku samarkan di sini, aku kehabisan nama untuk menggantikan nama
asli mereka. Dan sekarang aku minta maaf karena aku terlalu jujur akan hal
tersebut. Dan kalau aku bisa jujur lagi, aku tertawa sambil menulis
paragraf-paragraf ini. Dan bahkan tanpa kehadiran raga Alif dan Pramuditha di
sini, tetap dapat membuatku tertawa seperti ini. Dasar kalian.
Kembali ke sahabat laki-lakiku satu lagi yang namanya
terlalu panjang itu, Pramuditha juga pemain musik. Gitar atau bass, mungkin
keduanya. Alif pernah bercerita kalau ketika SMP, Pramuditha dan teman-temannya
memiliki band (entah asal-asalan atau tidak) dan Pramuditha sebagai bassist. Ia
itu sungguh pendiam. Tenang. Kalau kata mereka berdua, “Diam-diam, diam.” Aku
harap kalian mengerti intonasi dari kalimat yang baru saja aku maksud. Alif dan
Pramuditha seorang yang berbeda. Seperti hitam dan putih. Tapi aku tidak bisa
memilih yang hitam siapa dan yang putih siapa. Atau aku mungkin saja bisa
memilih, aku itu abu-abu jika mereka hitam dan putih. Percayalah, aku bahkan
tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan ini. Hahaha.
Aku bilang pada mereka namun aku lupa kapan, “Jangan
menganggapku sampai sebegitunya, ya?” tapi mereka tetap saja bilang kagum
padaku. Mereka bilang mengapa semua perempuan tidak seperti aku saja. I have no idea how could they told me such a
deep thing. Aku tahu mereka sayang padaku, begitu pula aku. Banyak hal-hal
kecil seperti jika aku benar-benar kelaparan, atau penyakit lambungku menyerang
tiba-tiba. Mereka benar-benar seperti superman yang datang membawa obat,
makanan maksudku. Hahaha.
Tepat tadi malam, keadaan sebaliknya bahwa saat mereka kelaparan
kemudian meminta aku untuk memasak. Tentu saja kulakukan. Jika kalian ingin
tahu, saat itu sedang akhir bulan. Jadi, kami sebagai perantauan-perantauan
malang akan merasa tahu diri untuk tidak makan-makan enak di luar sana. Tapi jika
kalian menebak-nebak, aku tidak sedang ingin membahas tentang makanan dan hal
kelaparan di sini.
Beberapa jenak setelah mereka kekenyangan dan tanpa arah,
mereka hendak kembali pulang ke kos mereka masing-masing, dengan kendaraan
masing-masing pula, kau tahu apa yang sempat terjadi? Sekejab ada bayangan
seperti hal gaib, mengintaiku. Aku bahkan tidak bisa menggambarkannya di sini. Alif
dan Pramuditha tahu kalau aku penakut. Aku sampai diam sebentar setelah melihat
sesuatu itu. Beberapa jenak. Aku berkata pada Alif, “Aku seperti melihat
sesuatu barusan.. Takut.” dengan raut takut bercampur senyum yang memaksa,
tanda bersirat “Please, kalian jangan
jadi pulang….” Kala itu hari sudah setengah larut, malah sudah larut. Melihatku
seperti itu Alif langsung menjawab, “Ikut ke tempatku saja, nanti Pramuditha
juga ikut ke tempatku. Kami tidak jadi pulang ke kos masing-masing.” Masih
tersisa shock-shock tadi dalam diriku, pikiranku, dan jiwaku. Pramuditha di sana
hanya diam saja tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu mungkin memang harus
berdiam. Atau memang itu karena ia memang pendiam. Mungkin.
Alif tahu aku tidak akan bisa tidur sendiri dalam keadaan
seperti itu. Maka dari itu ia berinisiatif untuk mengajakku ke kosnya. Namun aku
tidak bisa, bagaimana pula caranya? Untuk apa pula aku ikut mereka pulang? Macam anak perempuan tidak baik. “Nanti
aku tetap saja tidak bisa tidur, kan itu kosmu bukan kosku,” balasku dengan
masih ketakutan. Maksud aku adalah, aku ini perempuan dan kamu ini laki-laki. Kosku
ini adalah kos perempuan dan kosmu itu adalah kos laki-laki. Sebenarnya aku
tidak menjelaskan apa-apa lagi. Itu hanya dalam benakku. Alif mengerti, “Tak
apa, kamu tidur saja, aku dan Pramuditha tidak akan tidur.”
Malam itu akhirnya mereka tetap kembali pulang ke kos mereka
masing-masing. Aku pun tetap di kosku pula. Kalian tahu? Alif dan Pramuditha berkata
bahwa mereka akan terjaga sampai pagi, karena mereka tahu aku tidak akan bisa
tidur sendiri. Dan karena memang aku tidak akan mau jika mereka juga tidur.
Jadi apalah nanti jika hal itu terjadi? Percayalah, aku tidak sedang membahas
hal-hal seperti itu. Kembali kepada Alif dan Pramuditha, hal yang pertama aku
bantah ialah, “Kalian itu besok ada kelas pagi pukul tujuh, tidak usah
berlebihan. Tidak perlu lah sampai sebegitunya hanya karena aku ketakutan.” Alif
menimpal lagi, “Kamu tidak akan bisa tidur kan?” Aku seperti ingin menjawab iya
namun tidak sanggup. “Tidak apa-apa, aku akan berusaha,” balasku meskipun aku
tahu, aku tidak akan berani mematikan lampu kamarku saat tidur setelah itu.
Hal sekecil itu, membuatku sadar. Pun bersyukur kepada Tuhan
bahwa aku memiliki mereka.
Sudah lah paragraf-paragraf ini sepertinya menjadi panjang. Biarkan
aku menutupnya perlahan. Alif itu hampir tidak pernah peduli apa kata orang. Namun
ia adalah pribadi yang amat peduli bahkan bagi diriku. Setelah mengenalnya.
Alif mengajari aku bagaimana memegang stik drum dengan sebenar-benarnya. Bagaimana
posisi dan letak jari dan lenganku saat bermain drum agar tidak seperti seekor penguin
bermain drum. Karena ia selalu bilang, “Jangan seperti penguin itu tangannya!”
setiap aku sedang berlatih drum.
Sedangkan Pramuditha, adalah seorang yang pengalah. Setiap bermain
catur, bahkan ia membuat dirinya seperti akan kalah, yang justru itu selalu
membuat aku marah. “Jangan main sendiri, jangan bikin aku menang! Aku mau
menang hasil pikirku sendiri,” gerutuku. Kurang lebih seperti itu setiap aku
bermain catur bersama Pramuditha. Ia seorang yang pintar, atau cerdas? Kadang cerdas
dapat memiliki konteks yang negatif. Ya, tak apa lah. Pramuditha itu pintar dan
cerdas. Tapi, ia tidak terlalu menunjukkan itu. Mungkin dengan diam adalah
bagian dari penunjukkan diri dan hal konkret dari sebuah kalimat yang sering
kita dengar, “Diam itu emas.” Namun, menurutku tidak juga. Ia tak sebaik itu.
Aku harap beberapa paragraf tadi tidak begitu mempengaruhi
pikiran kalian. Karena, kalian tidak tahu bukan, apakah itu benar terjadi dalam
hidupku atau tidak? Kalian boleh menganggap itu benar, dan boleh pula jika
menganggap aku hanya berharap dua orang itu ada.
Akan aku sampaikan salam kalian kepada Alif dan Pramuditha.
Sampai jumpa, di hari-hari menyenangkan dan mungkin
menyedihkan lainnya, Alif, Pramuditha.
